12 Nov 2018
Sekarang sudah tidak asing lagi di mata kita jika melihat meja rekan pagi-pagi di kantor ada saja Cup Kopi dengan merk inisial S* disamping banyaknya tumpukan dokumen-dokumen kerja yang siap menemani hari kerjanya. Kemuncul tren ini tentu didukung dari pengaruh budaya kerja asing yang condong memiliki tuntutan pekerjaan yang tinggi serta akses terhadap kopi-kopi lokal yang terjangkau. Tidak lupa dengan bantuan teknologi aplikasi, hampir semua pekerja kantoran dapat memesan kopi hanya dengan telunjuk jari dan menunggu di ruang kerjanya.
Sebut saja Dani, salah satu rekan saya yang penikmat kopi. Dani adalah potret milenial yang hobi mengunggah kopinya setiap pagi di instagram setiap pagi. Tidak luput setiap hari secara konsisten dia membelanjakan sebagian dari gajinya untuk membeli kopi sebagai sesuatu keharusan sebelum bekerja. Rata-rata Rp 30ribu dia gelontorkan secara rutin di hari kerjanya. Bagi Dani, ini sah-sah saja karena sudah menjadi “gaya hidup”.
Apabila seandainya Dani dalam sebulan memiliki 20 hari kerja efektif, tentu ia telah membelanjakan Rp900 ribu setiap bulan. Begitu juga dengan orang lain yang memiliki pola yang sama. Tentu akumulasi biaya ini cukup tinggi, tetapi inilah yang dinamakan gaya hidup. Banyak masyarakat sulit meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang terlihat sepele, tetapi ternyata membutuhkan biaya tambahan tanpa disadari sepenuhnya. Selain kopi, mungkin Dani juga terbiasa membelanjakan uang untuk membeli rokok atau sekedar nongkrong bersama teman-temannya.
Kebiasaan-kebiasaan untuk membelanjakan hal kecil seperti ini yang nantinya berakumulasi menjadi pengeluaran besar adalah apa yang kita sebut dengan “latte factor”, istilah dipopulerkan oleh David Bach, penulis buku finansial ternama. Adapun bentuk pengeluaran selain kopi yang umumnya masuk kategori latte factor seperti cemilan, rokok, tagihan layanan, dan transportasi.
Di generasi teknologi dan informasi saat ini, memang kita bisa membelanjakan uang kita dengan sangat mudah, semua dapat dibeli cukup dengan duduk manis dan membuka smartphone kita. Tetapi jangan lupa, semua hal pasti punya 2 sisi. Jika menghabiskan uang saja bisa di smartphone, maka menyimpan atau menginvestasikan uang anda lewat smartphone tentu juga bisa!
Bisa dibayangkan jika gaya hidup berbelanja kopi diubah menjadi gaya hidup berinvestasi. Berapa uang yang bisa didapatkan 20 tahun lagi? Arip sangatlah masih muda dan tentu investasi harus dilakukan secara dini. Mari kita asumsikan jika Dani berhenti meminum kopi dan rutin menginvestasikan uangnya di instrumen investasi yang dapat mengembalikan imbal hasil 15% tahun*. Maka di akhir tahun ke-20, uangnya berlipat ganda menjadi Rp 1,3 Milyar!*. Angka yang fantastis menimbang ini hanya Rp 30ribu setiap hari, bisa dibayangkan efeknya jika uang yang diinvestasikan setiap hari lebih dari itu? Angkanya bahkan bisa membengkak sampe lebih dari Rp 20 milyar jika konsisten berinvestasi selama 40 tahun! Gila kan?
Hal ini bisa terjadi karena efek dari apa yang kita sebut “Compounding effect”, yakni konsep finansial bunga berbunga yang akan saya bisa jelaskan di blog post berikutnya.
Investasi tentu tidak tanpa resiko, tetapi sangat penting untuk memulai belajar investasi sejak dini, menghilangkan pengeluaran tidak penting, dan lakukan dengan konsisten. Salah satu alternatif investasi yang dapat dilakukan segera dan dapat memulai hanya dengan Rp 100rb adalah tentu dengan melakukan pendanaan UKM di platform peer-to-peer lending kami yang dapat memberikan imbal hasil antara 12-18% per tahun efektif.
Jadi tunggu apalagi, anda ingin menjadi seorang miliarder atau seorang Dani? Cus!
Cek juga laman postingan blog kami yang lain
*Asumsi perhitungan tanpa pajak dan imbal hasil dengan performa yang konsisten.