02 Aug 2019
Financial technology dengan sistem peer to peer lending menghadirkan layanan jasa keuangan baru dan menjadi alternatif pilihan pinjaman yang sangat diandalkan oleh masyarakat Indonesia
Perkembangan fintech memang terus mengalami peningkatan, meskipun ada beberapa spekulasi bahwa layanan tersebut merugikan para konsumen. Namun, seiring sosialisasi dan edukasi yang dilakukan oleh banyak pihak seperti media dan YLBHI, masyarakat yang menggunakan layanan tersebut juga semakin paham bagaimana cara memilih fintech yang lebih aman dan tepat. Caranya tentu dengan memilih perusahaan fintech yang sudah diakui secara resmi oleh OJK.
Baca Juga: Investasi Paling Mudah dan Ringan Untuk Mahasiswa
Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mewajibkan masyarakat untuk mengakses layanan fintech peer to peer lending yang terdaftar di OJK saja agar kegiatan pinjaman serta pendanaan dapat berjalan lancar dan aman.
Perusahaan peer to peer lending yang keberadaannya diakui secara resmi oleh OJK akan diberikan ketentuan dan syarat yang cukup ketat. Perusahaan tersebut harus bersedia dipantau serta diaudit secara rutin. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya manipulasi atau kecurangan.
Perlu Anda ketahui, ada dua macam produk pendanaan peer to peer lending online yaitu, P2P Pendanaan Produktif dan P2P Pendanaan Multiguna.
Ada fintech peer to peer lending terbaru yang izin operasionalnya sudah diakui secara legal. Sejak 5 April 2019, telah tercatat ada 106 platform peer to peer lending yang berdiri resmi di bawah pengawasan OJK. Berarti bertambah 7 fintech dari jumlah sebelumnya pada Februari 2019 yang mencapai 99 fintech.
Dari data OJK per Februari 2019 pertumbuhan P2P Lending melejit hingga 605% year on year (yoy) atau setara Rp7,05 triliun dibandingkan tahun lalu yang hanya sekitar Rp1 triliun. OJK berhasil mengumpulkan data rasio pinjaman macet sebanyak 3% yang berasal dari 99 perusahaan fintech legal tersebut.
Untuk lebih detailnya, di Februari 2019 tercatat rasio pinjaman macet lebih dari 90 hari sebanyak 3,18%, lalu 3,17% untuk rasio pinjaman bermasalah yang kurang lancar mulai dari 30 hari hingga 90 hari.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyambut hangat kehadiran empat fintech lending yang operasionalnya sudah dianggap legal oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang awalnya sudah menjadi anggota darinya. Hal ini menandakan regulator di Indonesia semakin percaya terhadap jasa keuangan fintech P2P Lending. Izin usaha itu telah keluar di tanggal 15 Mei 2019.
Dengan begitu, ada 113 perusahaan P2P Lending yang sudah dianggap legal oleh OJK. Perusahaan penyelenggara fintech tersebut antara lain Asakita, Kaching, Bocil, Duha Syariah, FinPlus, Digilend, dan Alamisharia. Yang termasuk ke dalam fintech peer to peer lending teranyar yang telah beroperasi secara legal adalah PT Amartha Mikro FIntek (Amartha), PT Creative Mobile Adventure (KIMO), PT Investree Radhika Jaya (Investree), PT Indo Fint Tek (Dompet Kilat).
Baca Juga: Tips Memilih Peer-to-Peer Lending (P2P) yang Terpercaya
AFPI adalah organisasi yang anggotanya berasal dari para pengusaha fintech pendanaan online di Indonesia dan fintech peer to peer lending. Keberadaan AFPI ini diakui OJK sebagai asosiasi resmi pelaku jasa pinjaman yang memanfaatkan teknologi informasi merujuk dari surat No. S-5/D.05/2019.
Seluruh aktivitas bisnis anggota AFPI harus sesuai dengan regulasi dari asosiasi yang dipantau secara langsung oleh Komite Etik. AFPI sendiri terdiri dari literasi dan edukasi, code of conduct, policy advocacy, data knowledge and intelligence, dan kolaborasi. Untuk mencegah dan menanggulangi manipulasi atau penipuan di fintech, AFPI telah menetapkan sertifikasi dan standardisasi pada proses penagihan.
Penyalahgunaan data nasabah adalah hal yang sangat dilarang. Hal ini juga ditetapkan AFPI. Oleh karena itu seluruh fintech diharuskan melapor proses penagihan kepada nasabah. Selain itu, AFPI melakukan Pemutakhiran Risk Management di Industri 4.0 dan menerapkan Sertifikat Manajemen Risiko Fintech Lending untuk semua anggotanya.
Menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI, pemberian izin tersebut menandakan kredibilitas industri P2P Lending itu sendiri. Beliau berharap ke depannya dengan pemberian izin ini dapat meningkatkan kepercayaan dari masyarakat khususnya investor bisnis fintech P2P Lending. Fintech lending model bisnis bisa berupa pembiayaan Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM), ritel, konsumtif, ataupun penjualan pulsa.
Untuk memperketat seleksi pendaftaran P2P Lending, OJK telah menambah syarat pendaftarannya. Syarat yang harus dipenuhi adalah sertifikasi yang didapat dari seminar yang diselenggarakan oleh AFPI. Seminar ini wajib untuk diikuti. Seminar tersebut adalah pembekalan untuk calon pelaku P2P Lending, yang terdiri dari direksi perusahaan dan komisaris, serta para pemegang saham.
Setiap pelaku peer to peer lending akan diberikan presentasi materi dari para stakeholder dan regulator seperti OJK, Bareskrim, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Inafis, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Perlindungan Konsumen, para pakar hukum ITE dan digital serta Badan Penyelenggara Sengketa Konsumen.
Selain itu, P2P Lending juga harus lolos dari berbagai persyaratan lain. Pertama, teknologi harus dibangun dengan sebaik-sebaiknya dan terdaftar di Kominfo. Kedua, model bisnis peer to peer lending tersebut harus sesuai dengan good corporate governance, yang termasuk di dalamnya prosedur operasional di perusahaan.
OJK juga berupaya membatasi akses data pribadi oleh fintech lending demi melindungi masyarakat. Sejauh ini fintech lending hanya bisa melakukan akses pada lokasi, kamera, dan mikrofon. Hal inilah yang membedakan fintech yang resmi dan tidak resmi. Diharapkan suatu saat nanti akan disusun undang-undang yang dapat memberi jera mereka yang melakukan pencurian data pribadi melalui fintech.
Baca lebih banyak artikel di Blog Modal Rakyat