20 Jul 2020
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani, mengusulkan rencana undang-undang redenominasi pada program legislasi nasional tahun 2020-2024. Sejak saat itu, banyak orang mulai membicarakan tentang kemungkinan ini.
Namun, apakah Anda tahu apa itu redenominasi? Apa ya tujuan dan dampaknya pada perekonomian negara kita? Apakah ada negara yang pernah melakukannya? Berikut penjelasannya untuk Anda.
Baca juga: Tips Investasi Saham Modal Minim bagi Pemula Milenial
Secara sederhana, redenominasi merupakan proses penyederhanaan mata uang dengan mengurangi digit angka nol dalam sebuah mata uang. Perlu diingat bahwa proses redenominasi tidak sama dengan sanering. Redenominasi tidak mengurangi daya beli uang, sedangkan sanering akan memangkas daya beli yang Anda miliki.
Sebagai contoh, Indonesia melakukan redenominasi dengan mengurangi tiga digit angka nol. Maka uang Rp100.000 akan menjadi Rp100, uang Rp10.000 akan menjadi Rp10, dan uang Rp1.000 akan menjadi Rp1.
Jika saat ini uang Rp10.000 dapat digunakan untuk membeli gado-gado, maka setelah redenominasi uang Rp10 juga bisa digunakan untuk membeli gado-gado. Daya beli mata uang tersebut tetap sama, hanya saja terdapat pengurangan digit nol.
Sebenarnya, tujuan redenominasi tergantung pada setiap negara yang melakukannya.
Jumlah digit angka dalam mata uang merupakan akumulasi dari krisis ekonomi dan inflasi yang terjadi di masa lalu. Semakin banyak jumlah digit dalam mata uang, semakin tinggi kebutuhan untuk redenominasi.
Indonesia tidak mengalami hiperinflasi. Lalu, Apa tujuan dan manfaat melakukan redenominasi?
Dengan mengurangi digit nol di dalam mata uang, pencatatan dalam akuntansi maupun kehidupan sehari-hari bisa lebih efisien. Kita tentu menyadari bahwa tiga digit angka nol hampir tidak pernah dipakai, bukan? Tiga digit tersebut hanya memperpanjang penulisan angka saja.
Jika tiga digit nol dihilangkan, semua pencatatan keuangan akan lebih sederhana. Ini juga bisa mencegah atau meminimalisasi kesalahan penulisan.
Anda tentu menyadari bahwa perbedaan nilai tukar Rupiah Indonesia dengan Dolar Amerika sangat jauh. $1 setara dengan Rp14.000. Sementara itu, $1 setara dengan 31,3 Baht Thailand dan 4,27 Ringgit Malaysia.
Redenominasi akan memberikan kesan bahwa nilai tukar Rupiah setara dengan mata uang asing lainnya. Hal tersebut terlihat positif dalam kacamata perdagangan dan psikologi market.
Mari kita lihat negara Turki. Sebelum melakukan redenominasi, $1 setara dengan 1,8 juta Lira. Setelah redenominasi, $1 sama dengan 1,8 Lira. Hal ini membuat Lira sejajar dengan mata uang lainnya. Hal ini juga bisa meningkatkan kredibilitas dan daya saing mata uang Lira di perdagangan internasional.
Tahukah Anda bahwa pecahan Rp100.000 adalah pecahan terbesar kedua di Asean? Pecahan terbesar pertama adalah 500.000 dong Vietnam. Di Indonesia Rp100.000 memiliki daya beli yang kecil. Mungkin hanya bisa digunakan untuk beberapa kali makan saja.
Mari kita bandingkan dengan Dolar Singapura. Uang sebesar 100.000 Dolar Singapura dapat digunakan untuk makan selama satu tahun.
Meskipun banyak manfaat yang bisa didapat dengan melakukan redenominasi, ada pula risiko yang harus dipertimbangkan. Jika risiko tersebut tidak dimitigasi dengan baik, redenominasi bisa berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia.
Lalu, apa saja risiko redenominasi?
Pembulatan harga yang berlebihan bisa mengakibatkan inflasi yang tinggi. Apakah Anda pernah mendengar istilah money illusion? Hal ini terjadi bila kita hanya melihat angka pada pada uang, bukan pada daya beli uang.
Misalnya, kita terbiasa menghabiskan uang puluhan ribu untuk makan. Menghabiskan Rp25.000 untuk sekali makan mungkin terasa lumrah. Namun, ketika redenominasi Rp25.000 akan berubah menjadi Rp25. Di sinilah ilusi bisa ternjadi.
Karena kita terbiasa menghabiskan uang puluhan ribu untuk makan, ketika menghabiskan uang Rp25 untuk makan, akan terlihat sangat kecil dan kurang berharga. Padahal uang Rp25 memiliki daya beli yang sama dengan Rp25.000. Hal ini bisa membuat kita merasa jika harga makan menjadi Rp30. Padahal pembulatan tersebut cukup tinggi, mencapai 20%.
Jika ilusi ini terjadi dalam skala besar, kita perlu waspada. Hal tersebut karena money illusion yang masif bisa menyebabkan inflasi.
Ketika memutuskan untuk menerapkan redenominasi, pemerintah perlu menyediakan biaya untuk proses sosialisasi dan implementasi.
Seperti yang kita tahu, Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas. Masyarakatnya hidup dalam kondisi geografi yang sangat berbeda, jenjang pendidikan yang beragam, akses yang berbeda, dan juga fasilitas yang berbeda. Ada orang yang tinggal di perkotaan dengan akses internet yang baik. Namun, ada juga orang-orang yang tinggal di pelosok dengan akses internet yang buruk.
Pemerintah memiliki PR yang besar untuk mensosialisasikan redenominasi ini. Tidak hanya sulit karena banyaknya perbedaan, tetapi pemerintah juga memerlukan anggaran yang besar untuk itu. Selain itu, memerlukan waktu yang juga tidak sedikit sampai masyarakat Indonesia memahami tujuan redenominasi.
Tidak hanya untuk sosialisasi, biaya juga diperlukan untuk implementasi redenominasi. Biaya diperlukan untuk mencetak uang, distribusi uang, juga untuk proses adendum hukum yang mengatur uang kita.
Redenominasi juga akan mengubah pencatatan uang secara digital yang kamu miliki. Ini juga termasuk rekening di bank, aset digital seperti saham, reksa dana, atau P2P Lending yang kamu miliki.
Memerlukan rencana, persiapan, dan kesiapan yang matang jika Indonesia akan melakukan redenominasi. Kondisi ekonomi negara juga harus mendukung agar proses ini bisa berjalan dengan lancar.
Baca juga: 5 Alasan Kenapa Muda Tetap Butuh Asuransi Kesehatan